Rabu, Oktober 31, 2007

Tionghoa-Indonesia








Jumlah populasi

1.739.000 (sensus 2000)[1]
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Jawa, Kalimantan Barat, Sumatra, Bangka-Belitung dan Sulawesi Selatan.
Bahasa
Hokkien, Hakka, Tiochiu, Mandarin, Jawa, Indonesia dan bahasa-bahasa daerah lainnya.
Agama
Sebagian besar Buddha, Kong Hu Cu dan Kristen. Minoritas kecil ada yang beragama Islam.
Kelompok etnis terdekat
Mayoritas suku Han dan minoritas suku Hui di Tiongkok.


Sukubangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.

Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren (Hanzi: 唐人, bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, bahasa Indonesia: Orang Han).Daftar isi [sembunyikan]



Kronologi sejarah


Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan-catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.

Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoapun mulai berdatangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam prasasti-prasasti ini orang-orang Tionghoa disebut sebagai Cina dan seringkali jika disebut dihubungkan dengan sebuah jabatan bernama Juru Cina atau kepala orang-orang Tionghoa.


Asal kata

Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina, diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasti Ching yang berkuasa. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Tionghoa di Hindia Belanda pada 1900 mendirikan sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda. Bagian ini membutuhkan pengembangan.



Jumlah populasi Tionghoa di Indonesia


Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.

Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika responden sensus ditanyakan mengenai asal suku mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa.


Daerah asal di Tiongkok

Peta distribusi daerah asal leluhur suku Tionghoa-Indonesia

Orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku:
Hakka
Hainan
Hokkien
Kantonis
Hokchia
Tiochiu

Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.

Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.

Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
Hakka - Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Menado, Ambon dan Jayapura.
Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Menado.
Hokkien - Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.
Kantonis - Jakarta, Makassar dan Menado.
Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
Tiochiu - Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).



Pra kemerdekaan

Dalam perjalanan sejarah, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan seperti pembantaian di Batavia 1740, pembantaian Tionghoa masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal etnis Tionghoa di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 dan Kerusuhan Mei 1998.

Pembantaian etnis Tionghoa di Batavia 1740 [2][3][2], melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram.

Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah (jumlahnya 54 buah tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.

Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.

Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik China, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal. Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel. Sejak pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740, orang Tionghoa tidak dibolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata ada hikmahnya itu menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa ini yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi.

Beberapa orang kapiten Tionghoa yang diangkat Belanda sebagai pemimpin komunitas ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat. So Beng Kong dan Phoa Beng Gan membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapten Tionghoa Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.

Sebetulnya pada era kolonial kelompok Tionghoa ini juga pernah berjuang, baik sendiri maupun bersama etnis lain, melawan Belanda di Jawa dan di Kalimantan. Bersama etnis Jawa, kelompok ini berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.

Golongan Tionghoa turut memfasilitasi terjadinya Sumpah Pemuda, dengan dihibahkannya gedung Sumpah Pemuda oleh Sie Kong Liong, dan ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat duduk dalam kepanitiaannya itu, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya.

Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po. Sebelumnya, Pada 1920-an harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia dan bukan Partai Tjina Indonesia.

Pada masa revolusi tahun 1945-an kita menyaksikan perjuangan Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Selain itu ada pula tokoh lain seperti Djiaw Kie Siong memperkenankan rumahnya di pakai untuk rapat mempersiapkan kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 5 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian meninggal dalam status sebagai warganegara asing, padahal ia ikut merancang UUD 1945. Dalam perjuangan fisik sebenarnya banyak pahlawan dari Tionghoa yang terjun namun sayangnya tidak banyak dicatat dan diberitakan. Tony Wen adalah orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.


Pasca kemerdekaan

Sejarah politik diskriminatif terhadap etnis Tionghoa terus berlangsung pada era Orde Lama dan Orde Baru. Pada Orde Lama keluar Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.

Selama Orde Baru juga terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".

Peran sosial budaya Tionghoa

Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.

Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan.

Selasa, Oktober 02, 2007

Spektrum Art Deco (part 2)


Spektrum Art Deco, Sekilas Kapal Normandie
Pengaruh Art Deco meresap ke segala bidang, hal ini dapat dilihat pada karya kapal Normandie. Dengan adanya penelitian dan pengembangan teknologi dalam bidang perkapalan, transportasi laut pada saat itu maju dengan pesat, terbukti dengan selesai dirakitnya kapal layar Normandie pada tahun 1935, yang mempunyai panjang 313 M. Kapal layar Normandie yang pada saat itu adalah kapal terbesar dan tercepat dengan interiornya yang mewah merupakan lambang kebanggaan rakyat Perancis, karena data-data teknis yang dipunyai, kapal layar tersebut berhak memakai tanda “Blue Band” yaitu sebuah simbol yang melambangkan kapal layar tercepat di Atlantik utara. Dalam interior kapal layar Normandie banyak dijumpai karya-karya seniman Art Deco Perancis, seperti misalnya Perusahaan Daum (di kota Nancy), Sabino dan René Lalique yang merancang barang-barang dengan bahan dari kaca, mereka merancang cawan sampanye, pemanas ruangan, lampu di ruang makan sampai kolam kaca dengan air terjunnya. Perusahaan Jules Leleu, Ala-voine dan perusahaan interior Dominique merancang tata letak dan mebelnya. Christofle merancang semua barang-barang yang dibuat dari bahan dasar emas dan perak, Roger dan Gallet merancang parfum, Raymond Subes merancang barang-barang dari logam, Jean Puiforcat merancang peralatan makan, sedangkan hiasan-hiasan tambahan seperti patung, relief-relief dirancang oleh Léon Drivier, Pierre Poisson, Saupique, Pommier, Delamarre, Bouchard, Baudry dan Dejean. Meskipun banyak ahli interior dan dekorator yang ikut berperan dalam penataan ruang dan dekorasinya, misalnya Leleu, Montagnac, Dominique, Follot, Simon, Laprade, Pascaud, Süe, Prou, Domin, hasilnya tidak bertabrakan satu sama lain karena semuanya sudah direncanakan dengan seksama. Oleh karena itu tidak berlebihan bila kapal layar Normandie dinamai dengan pameran berjalan, karena banyaknya seniman Art Deco yang ikut andil serta beragamnya barang-barang yang dirancang. Dari gambaran ini terlihat bahwa spektrum Art Deco mencapai berbagai macam bidang.

Para Seniman Art Deco
Telah kita ketahui bahwa Art Deco berkembang dengan baik pada tahun-tahun setelah terjadinya perang dunia pertama dan sebelum meletusnya perang dunia kedua. Tetapi dapat dikatakan bahwa Art Deco yang orisinal lahir pada awal tahun-tahun setelah berakhirnya perang dunia pertama, saat para seniman sedang bereksperimen mencari perspektif baru dengan menolak menggunakan ornamen yang identik dengan Art Nouveau, mereka seolah-olah ingin memutuskan diri dengan gaya Art Nouveau. Di samping menggunakan lagi ornamen-ornamen historis, mereka saling bertukar pikiran untuk berbagi inspirasi. Untuk menggabungkan kesemuanya itu, mereka menggunakan pendekatan eklektik. Para seniman dari berbagai media dengan cepat mengadopsi gaya yang spektakuler ini. Poster, perhiasan, mebel, keramik, patung, lukisan, pekerjaan dari metal bahkan pakaian ikut memeriahkan seni modern yang sedang populer pada saat itu.

Beberapa desainer sangat identik dengan Art Deco, misalnya Jaques-Emile Ruhlmann yang dikenal sebagai master Art Deco melalui karya mebelnya yang hampir selalu memakai material mahal. Desainer mebel lain misalnya Paul Follot, Pierre Chareau, Clement Rousseau, tim desain Süe et Mare (Louis Süe and André Mare), Eileen Gray serta Kem Weber. Rene Lalique dikenal dengan hiasan dari kaca dan desain perhiasannya, Susie Cooper dan Clarice Cliff terkenal dengan keramiknya, Jean Puiforcat dengan perak dan pekerjaan metalnya, Paul Poiret terkenal dengan motif tekstilnya, dan A.M Cassandre dikenal dengan poster-posternya.

Dari pakaian, perhiasan, poster sampai perabot dan peralatan rumah tangga, semua karya-karya ini memeriahkan dunia Art Deco, para seniman yang menghasilkannya berasal dari bermacam-macam latar belakang mencoba menghadirkan karya-karya yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat itu ditengah perubahan jaman. Partisipasi masyarakat luaslah yang membuat seni ini menjadi spektakuler.***

Sumber : http://bandungheritage.org/index.php?option=com_content&task=view&id=46&Itemid=49&limit=1&limitstart=1

Spektrum Art Deco (Part 1)


Spektrum Art Deco
Written by Tanti Yohana
Jun 21, 2007 at 02:46 PM
Article Index
Spektrum Art Deco
2 Page

Art Deco adalah gaya hias yang lahir setelah Perang Dunia I dan berakhir sebelum Perang Dunia II yang banyak diterapkan dalam berbagai bidang, misalnya eksterior, interior, mebel, patung, poster, pakaian, perhiasan dan lain-lain. Dalam perjalanannya Art Deco dipengaruhi oleh berbagai macam aliran modern, antara lain Kubisme, Futurisme dan Konstruktivisme serta juga mengambil ide-ide desain kuno misalnya dari Mesir, Siria dan Persia. Seniman Art Deco banyak bereksperimen dengan memakai teknik baru dan material baru, misalnya metal, kaca, bakelit serta plastik dan menggabungkannya dengan penemuan-penemuan baru saat itu, lampu misalnya, karya-karya mereka memakai warna-warna yang kuat serta bentuk-bentuk abstrak dan geometris misalnya bentuk tangga, segitiga dan lingkaran terbuka, tetapi mereka kadang masih menggunakan motif-motif tumbuhan dan figur, tetapi motif-motif tersebut cenderung mempunyai bentuk yang geometris. Komposisi elemen-elemennya mayoritas dalam format yang sederhana.
Asal usul Nama Art Deco
Ungkapan Art Deco diperkenalkan pertama kali pada tahun 1966 dalam katalog yang diterbitkan oleh Musée des Arts Décoratifs di Paris yang pada saat itu sedang mengadakan pameran dengan tema „Les Années 25“ yang bertujuan untuk meninjau kembali pameran internasional „Exposition Internationale des Arts Décoratifs et Industriels Modernes“ yang diselenggarakan pada tahun 1925 di Paris. Sejak saat itu nama Art Deco menjadi dikenal dan semakin populer dengan munculnya beberapa artikel dalam media cetak. Pada tanggal 2 November 1966 artikel yang berjudul „Art Deco“ dimuat di The Times, setahun kemudian artikel „Les Arts Déco“ dari Van Dongen, Chanel dan André Groult furniture dimuat dalam majalah Elle. Ungkapan Art Deco semakin mendapat tempat dalam dunia seni dengan dipublikasikannya buku „Art Deco“ karangan Bevis Hillier di Amerika pada tahun 1969. Jadi sebelum tahun 1966, masyarakat belum mengenal nama Art Deco dan menamai seni yang populer di antara kedua perang dunia itu sebagai seni modern.

Latar Belakang Munculnya Art Deco
Revolusi Industri
Pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, adalah kurun waktu di saat masyarakat dunia diliputi oleh berbagai macam konflik. Konflik-konflik ini muncul sebagai akibat dari Revolusi Industri yang menciptakan pergeseran sosial, berbagai macam pengetahuan dan teknologi baru membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Keadaan sosial masyarakat berubah, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industrial. Kekuatan mesin menggantikan tenaga manusia yang sangat terbatas. Apa yang masyarakat lihat dan dengar berubah secara cepat. Barang-barang untuk keperluan hidup sehari-hari mulai banyak diproduksi oleh mesin dan secara massal. Meskipun demikian tidak semua masyarakat menerima dan menyukai barang-barang yang diproduksi oleh mesin, banyak yang masih menyukai hasil kerajinan tangan dengan seni tradisional. Barang-barang produksi mesin tidak seindah hasil kerajinan tangan meskipun harganya tidak mahal tapi tidak banyak peminatnya, sebaliknya barang-barang kerajinan tangan sangat tinggi mutunya, indah dan personal tapi mahal harganya. Revolusi Industri juga membawa perubahan pada Arsitektur. Selama berabad-abad arsitek hanya mengkonsentrasikan karyanya pada bangunan-bangunan ibadah, kastil, istana dan rumah para bangsawan. Setelah adanya Revolusi Industri diperlukan suatu tipologi bangunan yang berbeda dari abad sebelumnya, misalnya, pabrik, stasiun, bangunan perdagangan, bangunan perkantoran, perumahan dan lain lain. Seiring dengan meningkatnya jumlah produksi meningkat pula jumlah pabrik, agar distribusi menjadi lancar, dibuat jalan-jalan raya penghubung antarkota dan negara, diciptakan pula alat transportasi modern, misalnya mobil, kereta, kapal dan pesawat. Sehingga pada jaman itu muncul konsepsi-konsepsi baru tentang iklan, fotografi, produksi massal dan kecepatan/laju.

Perang Dunia I
Perang Dunia I yang berlangsung di Eropa pada tahun 1914-1918 menyebabkan kerugian jiwa dan materi yang besar. Setelah perang berakhir, masyarakat sibuk menata kembali lingkungannya, membangun kembali tempat tinggalnya dan mereka memerlukan berbagai macam peralatan rumah tangga, perhiasan, pakaian, keramik dan lain-lain, hal ini memberikan kesempatan kepada para seniman untuk bereksperimen dan memberikan semangat kepada mereka untuk menghasilkan inovasi-inovasi baru. Barang-barang yang diperlukan masyarakat adalah yang modern dan fungsional. Art Nouveau suatu gerakan seni yang popular pada tahun 1894-1914 tidak lagi bisa bertahan lama karena hasil karya mereka kurang fungsional, penuh dekorasi dan harganya sangat mahal.

Usaha-usaha Mencari Solusi Permasalahan
Seni modern yang muncul pada awal abad ke 20 ini merefleksikan sensasi yang dialami pada waktu itu. Para seniman mencari pemecahan atas konflik yang timbul dengan menciptakan suatu gaya yang dapat merangkul selera semua lapisan masyarakat. Sekolah-sekolah seni dan pameran pameran seni adalah tempat yang dipakai oleh para seniman untuk bertukar pikiran dan menciptakan ide-ide baru. Pengenalan terhadap material baru seperti plastik, bakelit, kaca dan krom mengharuskan para seniman mencari cara dan gaya sehingga material tersebut dapat diolah dan diproduksi secara massal. Adapula yang meniru rancangan-rancangan lama yang disukai dan terbilang mewah karena berasal dari material yang langka dan biasanya dikerjakan oleh pengrajin, tujuan meniru tersebut agar hasil karya itu bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Pengertian bahwa dengan desain yang bagus dapat menaikkan omset penjualan sudah dikenal oleh para seniman dan pengusaha, hal ini membuat mereka berpikir bagaimana menghasilkan barang dengan desain yang bagus, artinya sesuai dengan selera pasar dan dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Usaha-usaha pencarian desain yang sesuai dengan selera masyarakat dapat dilihat dalam keragaman hasil rancangan para seniman tersebut.

bersambung

Sumber : http://www.bandungheritage.org/index.php?option=com_content&task=view&id=46&Itemid=49

wena sangat bersemangat hehehe



nih nih qta lagi berdebat mw nyari data dimana lagi,,,
denger-denger ijinnya ribet dah gitu banyak yang pulang tanpa hasil,,, huuuu sedih dehhh

Nil,, jgn marah-marah dunk hihihi




wah wah,, kenapa nil kenapa? ada apa ini? hehehe,,, apakah c Novia melakukan kesalahan?

ayo, ganbatte!




wedeh serius smuwa ya,,, tp cb liat deh yg dibelakang,,, knp war liatin danil makan gt,,, mw yah??? hahahhaha,,, iya nih jam makan siang ternyata huuuuuuu,,, laperrrr

haduh photografernya kok cm nyorot qta marsel n novia c hehehe



haduhhh marsel, kok cengarcengir gt c,, semangat dunk hehehe

pertempuran belum berakhir



hoammmmm,,, biz ini qta masih mw ke kos-kosannya yustian nih,, mw buat excel bareng-bareng sama ngupdate blog lg,,, cia yoo cia yooo

Senin, Oktober 01, 2007